BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Wednesday, June 30, 2010

Bakti Ibu

Hanyalah dirimu, permata hatiku.
Setinggi langit, seluas bumi
Pengorbananmu.

Bagaikan lilin, membakar diri.
Kau menyinarkan cahaya bakti
Budimu suci bak embun pagi
Dikaulah ibu, yang ku sanjungi.

Begitu tinggi martabat mu ibu,
Hinggakan syurgaku di tapak kaki mu
Kau mengorbankan nyawa dan badan
Demi memberiku secebis kehidupan.

Segunung kasih kau curah padaku
Bagaikan menatang minyak yang penuh
Dikau bekalkan jiwa ragu ku
Pelita hidup, penyuluh laluan ku.

Hanyalah dirimu, permata hatiku
Setinggi langit, seluas bumi.
Pengorbananmu

Bagaikan lilin, membakar diri.
Kau menyinarkan cahaya bakti.
Budi mu suci bak embun pagi.
Dikaulah ibu, yang ku sanjungi.

http://www.anakmelayu.com

Monday, June 21, 2010

Selamat Hari Lahir Mama

Selamat hari lahir mama,
ingin kami mengucapkannya jua,
walau dirimu sudah tiada lagi di dunia ini,
meninggalkan kami buat selamanya.

Kenangan bersama mu tak mudah untuk dilupakan,
walau di mana kami berada dirimu sentiasa bersama,
terpahat kuat di hati nurani,
sehingga ke penghujung hayat.

Masih kami ingat...
Ketika masih kecil dirimu membelai kami,
menjaga kami siang malam tanpa kenal penat lelah,
memberikan kami kasih sayang tanpa bandingan,
yang tak mampu diberikan oleh sesiapapun.

Bertahun dirimu menyemai kasih sayang,
biarpun perit derita dirimu lalui,
namun tak pernah mengalah,
walau melalui ranjau duri menyakitkan,
hinaan, cercaan dan tohman,
kerana bagimu hidupmu adalah nyawa anakmu.

Kini, dewasanya kami ini,
atas segala usahamu sebagai ibu,
mengasuh, mendidik dan menyayangi kami,
sehingga kami menjadi orang berguna.

Mama yang tersayang,
maafkan jika ada ketelanjuran antara kita,
kata-kata yang bisa menguris hatimu,
maafkan kami mama....

Kini baru kami tahu, akan sebenarnya erti IBU
dalam hidup selamanya...kerana tanpa mama,
kami tak akan ada di dunia ini,
terima kasih mama...kami sayang mama....

Hanya yang dapat kami kirimkan,
secebis doa buat kerahmatan mu di sisi Allah,

Selamat Hari Lahir Ibu

 
Hidup ini terlengkap dengan hadirmu
Terima kasih Allah yang mendatangkan Ibu
Kufikir ia tanda kasih-Nya yang mendodoi kalbu
Sukar kutafsirkan tetapi itulah yang berlaku

Kulihat kau amat sederhana ibu
Nasihat-nasihatmu memanah jiwaku
Kadangkala berjejesan air mata membaca bicaramu
Terasa terjaga dari lena alpa dengan suaramu

Hari ini hari lahirmu
Di pagi negeriku berdoa
Agar Allah sentiasa melimpahkan kasih-Nya tak kunjung putus
Buatmu ibu yang berhati mulus

Orang sibuk dengan dunia mereka
Tetapi aku hanya mengingati ini tarikh lahirmu
Dengan tembakan-tembakan doa
Aku sujud kepada Tuhan
Yang memberikanku dikau wahai ibu

Selamat hari lahir
Semoga Allah mencintaimu
Melebihi luas cintaku
Kepadamu wahai ibu

Tuesday, June 15, 2010

Ibu dan Anak...

Betapa bahagianya anak-anak bersama ibu. Kasihilah ibu selagi mereka ada.

Sunday, June 13, 2010

Puisi untuk Ibu

Di malam yang dingin
Dengan berselimut kesendirian
Kuterbangun menatap langit langit kamarku
Terlintas di benak sosok engkau
Yang selalu menemaniku menjemput pagi
Yang selalu menemaniku menikmati panasnya sinar matahari
Yang selalu menemaniku menyaksikan bulan ataupun bintang saat malam tiba
Dan kembali mengantarku ke dalam tidur yang panjang
Semua itu kini tak dapat lagi kurasakan
Karena saat ini ku jauh darimu
Mekipun sebenarnya ku tak bisa
Namun ku yakin semua itu akan berakhir

Ibu………..
Aku rindu dengan senyummu
Aku rindu dengan kasih sayangmu
Aku rindu dengan belai lembutmu
Aku rindu akan pelukmu
Ku ingin kau tahu itu

Ibu……….
Kau selalu ada
Di setiap hembusan nafasku
Di setiap langkah kakiku
Di setiap apa yang ku gapai
Karena kau begitu berarti dalam hidupku

—————
oleh hasbullah

http://www.penyair.com/puisi-dan-syair/puisi-cinta/puisi-untuk-ibu/

PUISI UNTUK IBU

ibu.....
aku rindu kepadamu
dimanakah dirimu
aku tak pernah tau

Ibu.....
aku rindu pelukanmu
aku rindu kasih sayangmu

Ibu...
engkau wanita yang telah melahirkanku
merawatku
membesarkanku
mendidikku
hingga diriku telah dewasa

Ibu...
engkau wanita yang selalu siaga tatkala aku dalam buaian
tatkala kaki-kakiku belum kuat untuk berdiri
tatkala perutku terasa lapar dan haus
tatkala kuterbangun di waktu pagi, siang dan malam

Ibu...
engkau wanita yang penuh perhatian
bila aku sakit
bila aku terjatuh
bila aku menangis
bila aku kesepian

Ibu...
telah kupandang wajahmu diwaktu tidur
terdapat sinar yang penuh dengan keredhoan
terdapat sinar yang penuh dengan kesabaran
terdapat sinar yang penuh dengan kasih dan sayang
terdapat sinar kelelahan karena aku

Aku yang selalu merepotkanmu
aku yang selalu menyita perhatianmu
aku yang telah menghabiskan air susumu
aku yang selalu menyusahkanmu hingga muncul tangismu

Ibu...
engkau menangis karena aku
engkau sedih karena aku
engkau menderita karena aku
engkau kurus karena aku
engkau korbankan segalanya untuk aku

Ibu...
jasamu tiada terbalas
jasamu tiada terbeli
jasamu tiada akhir
jasamu tiada tara
jasamu terlukis indah di dalam surga

Ibu...
hanya do'a yang bisa kupersembahkan untukmu

Ibu.........
maafkan ankamu
yang tak mampu mencarimu

Ibu........
jika mendengarkan panggilan batinku
balaslah dengan senyum manismu

]Ibu........
ku yakin kau merasan rinduku
aku ingin kau pulang
dan memeluku

Hanya tangisku sebagai saksi
atas rasa cintaku padamu

Ibu..., I LOVE YOU SO MUCH
juga kepada Ayah...!!!

MBAH^CAWED

Aku Rindu Ibu

Mengenang kembali yang telah berlalu, begitu lalu di ingatan,seperti angin tadi yang menyapu, membelai dan membiru, mengelabu, pada hati yang jadi rindu, akan segala biru-segala biru dan segala lakumu ibu.


Aku rindu ibu 2
Lalu jika aku ingin mengenangmu, ingin merasamu, lalu jika aku ingin mendengarmu,
Ingin memelukmu ibu, seperti angin saja, bayangan yang indah setelah itu mengelabu
dihatiku karena kau jauh…. Jauh ibu.

Aku rindu ibu 3
Lalu ibu aku jadi menanti hari, menghitung jari, menari pada kanvas cintamu, dalam permainan lagu irama tidurku yang selalu didendang bapak ketika itu, ketika itu, Ketika
Kemanjaan jadi untukku saja, ketika kehangatan hanya untukku saja , ketika juga saat kau ukir masa depanku yang cemerlang nanti katamu ? di atas awan, di atas derita masa lalu dan di atas perjuangan kita , begitu katamu.

http://aulia-aulia1.blogspot.com/2009/05/aku-rindu-ibu.html

Wednesday, June 9, 2010

Kisah Ibu Mithali

Assalamualaikum dan salam sejahtera...

Saudara dan saudari sekalian cuba amati dan hayati kisah ibu mithali ini, mudah-mudahan Allah SWT membuka pintu hati kita semua. Dipetik daripada email yang dihantar kepada saya dan saya ingin berkongsi dengan anda yang membaca blog ini.

PENERIMA ketiga berjalan perlahan-lahan turun dari pentas. Di lehernya, telah terkalung pingat "Ibu Mithali". Tangan kanannya menggenggam erat satu sampul dan segulung sijil. Tangan kirinya pula memegang beberapa hadiah iringan. Anaknya setia melangkah di sisi.

"Sekarang ....," suara pengacara majlis bergema kembali, "Tibalah kita kepada penerima anugerah "Ibu Mithali" yang terakhir. Penerima ini agak lain daripada yang lain dan sungguh istimewa. Untuk itu, dipersilakan Puan Afifah Rashid naik ke pentas bersama- sama Cik Nurul Humairah, untuk tampil memperkenalkan ibunya. Dipersilakan.

Mataku tercari-cari pasangan ibu dan anak yang bakal mengambil tempat itu. Di barisan penonton paling hadapan, aku dapati seorang anak gadis berkulit hitam m anis dan bertubuh tinggi lampai, sedang berusaha memujuk seorang wanita dalam lingkungan usia 60-an untuk bangun.

Aneh, kenapa ibu yang seorang ini nampaknya begitu keberatan untuk naik ke pentas? Kenapa dia tidak seperti tiga orang penerima sebelumnya, yang kelihatan begitu bangga menapak naik ke pentas, sebaik sahaja mereka dijemput?

Hampir lima minit kemudian, barulah tampak si anak gadis yang memakai sepasang kebarung bertanah ungu dan berbunga merah jambu serta bertudung ungu kosong, bersusah payah memimpin ibunya naik ke pentas.

Ibu itu pun menduduki kerusi yang telah diduduki oleh tiga orang penerima sebelumnya. Anak gadis itu kemudiannya beredar ke pembesar suara. Dia beralih pandang kepada ibunya yang hanya tunduk memerhati lantai pentas.

'Pelik sungguh ibu yang seorang ini. Lagaknya bukan lagak

orang yang akan menerima anugerah. Dia tak ubah seperti seorang pesalah yang sedang menanti hukuman. Duduknya serba tak kena. Sekejap beralih ke kanan, sekejap berpusing ke kiri. Tangannya menggentel-gentel baju kurung biru muda yang dipakainya.'

Dehem si anak dalam pembesar suara membuat aku sedikit tersentak.

Tumpuanku yang sekian lama terhala ke pentas, aku alihkan pada buku notaku. Aku menconteng-conteng helaian yang masih putih bersih itu untuk memastikan penku dalam keadaan yang baik. Kemudian, aku memeriksa kameraku. Filemnya masih ada. Baterinya masih dapat bertahan.

Sempat juga aku mengerling rakan-rakan wartawan dari syarikat akhbar dan majalah lain yang duduk di kiri kananku. Nampaknya, pen sudah berada dalam tangan masing-masing. Mata mereka sudah terarah kepada ibu di atas pentas dan anak yang sudah pun memulakan bicaranya dengan bismillah dan, memberi salam.

Aku tersenyum dan mengangguk kepada rakan- rakan wartawan yang duduk semeja denganku. Tetapi, senyuman dan anggukanku sudah tidak sempat mereka balas. Aku lantas mengemaskan dudukku mencari posisi yang paling selesa.

"Pertama sekali, saya ingin memanjatkan rasa syukur ke hadrat Allah, kerana dengan izin-Nyalah saya dan, mak berada dalam majlis yang gilang-gemilang ini. Seterusnya, saya ingin merakamkan penghargaan saya kepada pihak penganjur yang telah mempertimbangkan mak saya sebagai, salah seorang penerima anugerah "Ibu Misali" tahun ini."

Suasana menjadi sunyi. Hadirin memberi tumpuan sepenuhnya kepada percakapan gadis itu.

"Sebetulnya, ketika saya kecil, saya memang membenci mak. Darjah kebencian itu meningkat setelah saya mendapat tahu Puan Afifah hanyalah mak angkat saya. Pada masa yang sama, saya merasakan sayalah anak yang paling malang , disisihkan oleh ibu sendiri, dan diperhambakan pula oleh mak angkat untuk membantu menjaga anak-anak kandungnya"

"Membantu menjaga anak- anak kandungnya? Mungkin, persoalan itu sedang pergi balik dalam benak tuan-tuan dan puan-puan sekarang.. Persoalan itu pasti akan terjawab sebentar lagi, apakala saya mempertontonkan rakaman video yang memaparkan kehidupan anakanak kandung mak. Sebelum itu, saya harus menegaskan bahawa anak-anak yang bakal hadirin lihat nanti bukan terdiri daripada doktor, peguam, jurutera, pensyarah, ahli perniagaan, pemimpin masyarakat, dan guru, seperti mana anak ketiga-tiga "Ibu Mithali" yang baru menerima anugerah sebentar tadi."
Suara hadirin yang kehairanan mula kedengaran.

"Inilah dia abang-abang dan kakak- kakak saya!" suara hadirin semakin kedengaran. Mereka tidak dapat membendung rasa kekaguman.

"Yang mengeluarkan berbagai-bagai bunyi itu, Abang Long. Yang sedang merangkak ke sana ke mari itu, ialah Kak Ngah. Yang sedang mengesot ke ruang tamu itu, ialah Abang Alang. Yang sedang berjalan sambil berpaut pada dinding itu, ialah Kak Anjang. Yang sedang berjalan jatuh dari dapur ke dalam bilik itu, ialah Abang Andak."

"Seperti yang tuan-tuan dan puan-puan saksikan, tahap kecacatan fizikal dan mental abangabang dan, kakak-kakak saya tidak sama. Daripada yang tidak boleh bercakap dan bergerak langsung, seperti bayi yang baru lahir hinggalah kepada yang boleh berjalan jatuh dan, bercakap pelat-pelat, seperti budak berumur satu atau, dua tahun."
Hadirin yang sebentar tadi bingit suaranya kini terdiam kembali. Mereka menonton video yang sedang ditayangkan itu dengan khusyuknya.

"Untuk pengetahuan semua, abang-abang dan kakak-kakak saya, telah menjangkau usia 20-an dan, 30-an. Namun, meskipun telah dilatih dengan sungguh-sungguh, mereka masih belum pandai mengurus makan minum dan berak kencing mereka sendiri. Lihatlah betapa sukarnya mak hendak melayan makan dan, pakai mereka."

"Sewaktu saya berusia enam atau, tujuh tahun, saya sering mencemburui abang-abang, dan kakak-kakak kerana mereka, mendapat perhatian istimewa daripada mak. Saya iri hati melihat mak memandikan mereka. Saya sakit hati melihat mak menyuap mereka. Sedang saya disuruh buat semua itu sendiri."

"Mirah dah besar, kan ? Mirah dah boleh uruskan diri Mirah sendiri, kan ?" Lembut nada suara mak tiap kali dia memujuk saya. Namun, kelembutan itu telah menyemarakkan api radang saya

"Tapi, mak tak adil!" Saya kerap membentak. "Mak buat segalagalanya untuk kakak- kakak dan abang- abang. Kalau untuk Mirah, mak selalu berkira!"

"Mirah, abang-abang dan kakak-kakak Mirah tidak secerdas Mirah. Mereka cacat!" Berkali-kali mak menegaskan kepada saya. "Sebab itulah mak terpaksa membantu mereka."

"Mereka cacat apa, mak?" Saya membeliakkan mata kepada mak. "Semua anggota mereka cukup. Kaki dan tangan mereka tidak kudung. Mata mereka tidak buta. Yang betulnya, mereka malas, mak!"

"Mirah ... Mirah belum faham, sayang." Suara mak akan menjadi sayu tiap kali dia mempertahankan kakak-kakak dan abang-abang saya. Tetapi, kesayuan itu tidak pernah mengundang rasa simpati saya.

"Apabila difikirkan kembali, saya merasakan tindakan saya itu terlalu bodoh. Abang-abang dan kakak-kakak tak pernah kacau saya. Mak pun cuma sekali-sekala saja meminta bantuan saya menyuapkan mereka makan atau menukar kain lampin mereka. Itu pun saya tidak pernah ikhlas menolong.

Saya akan merungut tidak henti-henti sepanjang masa saya melakukan itu. Jika makanan yang saya suap tumpah atau jika abang-abang dan kakak-kakak terkencing atas tangan saya, ketika saya sedang menyalin kain lampin mereka, tangan saya ringan saja mencubit atau menampar mereka.

Saya tahu mereka tidak pandai mengadu perbuatan jahat saya kepada mak. Ketika itu, memang saya langsung tidak punya rasa hormat kepada abang-abang dan kakak-kakak. Kepada saya, kehadiran mereka menyusahkan hidup saya."

"Hantarlah abang-abang dan kakak-kakak ke rumah kebajikan, mak." Saya pernah mengusulkan kepada mak, ketika saya berusia sepuluh tahun.

"Lepas itu, mak dan ayah boleh hidup senang-lenang macam mak dan ayah orang lain. Mirah pun takkan rasa terganggu lagi."

"Mereka anak-anak mak, Mirah. Jadi, maklah yang patut jaga mereka, bukan petugas-petugas di rumah kebajikan." Begitu reaksi mak setiap kali saya mencadangkan hal itu.

"Saya langsung tidak menghormati, apatah lagi mengagumi pendirian
mak. Mak memang sengaja menempah masalah. Mak tidak menghargai jalan keluar yang telah sedia terentang di hadapannya."

"Rasa geram dan marah saya sampai ke puncaknya, semasa saya berusia dua belas tahun. Pada hari itu, mak demam teruk hingga tidak dapat bangun. Ayah terpaksa ambil cuti untuk membawa mak ke klinik. Lalu, saya ditinggalkan untuk menjaga abang-abang dan kakak-kakak di rumah.

Sebelum meninggalkan rumah, biarpun dalam keadaan yang lemah, berkali-kali mak sempat berpesan kepada saya, agar jangan lupa memberi abang-abang dan kakak-kakak makan, dan menukar kain lampin mereka."
Suasana dewan terus sunyi. Hadirin masih khusyuk mendengar cerita gadis itu.

"Itulah kali pertama saya ditinggalkan bersama-sama abang-abang dan kakak-kakak, selama lebih kurang lima jam. Jangka masa itu cukup menyeksakan.

Kebetulan pada hari itu, abang-abang dan kakak-kakak benar-benar mencabar kesabaran saya. Entah mengapa Abang Long enggan makan. Jenuh saya mendesaknya. Abang Alang dan Kak Ngah pula asyik mencirit saja. Letih saya menukar kain lampin mereka. Abang Andak pula, asyik main air ketika saya memandikannya. Basah lencun baju saya dibuatnya. Kak Anjang pula, asyik sepahkan nasi dan tumpahkan air. Penat saya membersihkannya. "

"Apabila mak dan ayah pulang, saya sudah seperti kain buruk, tubuh saya lunyai. Saya sudah tidak berupaya melihat muka mak dan ayah. Saya terus melarikan diri ke rumah ibu kandung saya, yang terletak di sebelah rumah mak.. Begitulah lazimnya. Apabila fikiran saya terlalu kacau, saya akan ke rumah ibu untuk mencari ketenangan."

"Ibu!" Saya menerpa masuk lalu memeluk ibu. "Kenapa ibu bagi Mirah kepada mak? Kalau ya pun ibu tidak suka Mirah, bagilah
Mirah pada orang lain yang lebih menyayangi Mirah, bukan mak."

"Mirah!" Ibu merangkul saya. " Kan dah berkali-kali ibu tegaskan yang ibu bagi Mirah kepada mak bukan kerana ibu tak sayang Mirah."

"Lazimnya ibu akan membuka kembali lipatan sejarah hidupnya apabila situasi itu berlaku.. Ibu ialah kakak mak. Ibu sakit teruk setelah melahirkan saya. Selama berbulan-bulan ibu terlantar di hospital, mak yang telah menjaga saya. Setelah ibu sembuh, ibu dapat lihat sendiri betapa gembiranya mak dapat menjaga seorang anak normal.

Justeru, ibu tidak sampai hati hendak memisahkan kami."

"Ibu telah berasa betapa nikmatnya menjaga tujuh orang anak yang pintar dan cerdas. Jadi, biarlah nikmat itu turut dirasakan oleh mak pula dengan menjaga Mirah. Lagipun, dengan menyerahkan Mirah kepada mak, ibu masih dapat melihat Mirah membesar di hadapan mata ibu, walaupun Mirah tinggal bersama-sama mak. Dari pemerhatian ibu, ibu rasa, mak lebih menyayangi Mirah berbanding dengan anak anaknya yang lain."

"Sayang apa? Ibu tahu tak yang rumah tu macam neraka bagi Mirah? Ibu tahu tak yang Mirah ni tak ubah seperti hamba di rumah tu?"

"Jangan besar-besarkan perkara yang kecil, Mirah. Ibu tahu sekali-sekala saja mak membebankan Mirah dengan kerja-kerja rumah dan tugas menjaga abang-abang dan kakak-kakak Mirah. Itu pun Mirah buat tidak sesungguh hati. Nasi mentahlah, lauk hanguslah, abang-abang, dan kakak-kakak kena lempanglah."

"Mak adu semua kepada ibu, Ya?" Saya masih mahu berkeras meskipun saya tahu saya bersalah.

"Mak jarang-jarang mengadu keburukan Mirah kepada ibu. Ibu sendiri yang kerap mengintai Mirah dan melihat bagaimana Mirah melaksanakan suruhan mak."

"Saya tunduk. Saya sudah tidak sanggup menentang mata ibu."

"Ibu malu, Mirah. Ibu mengharapkan kehadiran Mirah di rumah mak kau itu dapat meringankan penderitaan mak.

Tetapi, ternyata kehadiran Mirah di rumah itu menambahkan beban mak."

"Saya benar-benar rasa terpukul oleh kata-kata ibu."

"Ibu rasa, apa yang telah mak beri kepada Mirah, jauh lebih baik daripada apa yang diberi kepada anak-anaknya sendiri. Mirah dapat ke sekolah. Kakak-kakak dan abang-abang Mirah hanya duduk di rumah. Mirah dapat banyak pakaian cantik. Sedang anak-anak mak yang lain pakaiannya itu-itulah juga. Setiap kali Mirah berjaya dalam peperiksaan, mak sungguh gembira. Dia akan meminta ibu tolong menjaga abang-abang dan kakak-kakak kerana dia nak lihat Mirah terima hadiah."

"Saya tidak sanggup mendengar kata-kata ibu selanjutnya, bukan kerana saya tidak mengakui kesalahan saya, tetapi kerana saya benar-benar malu."

"Saya meninggalkan rumah ibu bukan kerana berasa tersisih daripada ibu kandung sendiri, atau berasa kecewa sebab tidak mendapat pembelaan yang diharap-harapkan.

Saya meninggalkan rumah ibu dengan kesedaran baru." "Sesampainya saya ke rumah tempat saya berteduh selama ini,saya dapati mak yang belum sembuh betul sedang melayan kerenah abang-abang dan kakak-kakak dengan penuh sabar. Saya terus menghilangkan diri ke dalam bilik kerana saya dihantui oleh rasa bersalah. Di dalam bilik, saya terus resah-gelisah. "

"Mirah," panggilan lembut mak seiring dengan bunyi ketukan di pintu bilik saya. "Mirah."

"Saya cepat-cepat naik ke atas katil dan memejam mata, pura-pura tidur."

"Sejurus kemudian, terdengar bunyi pintu bilik saya dibuka. "Mirah dah tidur rupa-rupanya! Kesian. Tentu Mirah letih menjaga abang-abang dan kakak- kakak semasa mak, ke klinik siang tadi. Maafkan mak, sayang. Mak tahu Mirah masih terlalu muda untuk memikul beban seberat itu.
Tapi, keadaan benar- benar terdesak pagi tadi, Mirah. Mak janji, lain kali mak tak akan kacau Mirah lagi. Mak akan meminta ibu atau orang lain menjaga abang- abang dan kakak-kakak kalau mak terpaksa tinggalkan rumah"

Sepanjang mak berkata-kata itu, tangan mak terus mengusap-usap dahi saya.. Suara mak tersekat-sekat. Saya terlalu ingin membuka mata dan menatap wajah mak ketika itu.

"Mirah, mak tahu Mirah tak bahagia tinggal bersama-sama mak."

Suatu titisan air mata gugur di atas dahi saya. Kemudian, setitik lagi gugur di atas pipi saya. Selepas itu, titisan-titisan itu kian rancak gugur menimpa serata muka dan leher saya.

"Walau apa pun tanggapan Mirah kepada mak, bagi mak, Mirah adalah segala-galanya. Mirah telah menceriakan suasana dalam rumah ini. Mirah telah menyebabkan mak berasakan hidup ini kembali berharga. Mirah telah. .."

"Mak!" Saya lantas bangun lalu memeluk mak. Kemudian, tiada kata-kata yang lahir antara kami. Yang kedengaran hanyalah bunyi sedu-sedan dan esak tangis.


Peristiwa pada hari itu dan, pada malamnya telah mengubah pandangan saya terhadap mak, abang-abang dan kakak-kakak. Saya mula merenung dan menilai keringat mak. Saya mula dapat menerima keadaan kakak- kakak dan abang- abang serta belajar menghormati dan, menyayangi mereka.

Keadaan dewan menjadi begitu sunyi seperti tidak berpenghuni sejak gadis itu berbicara.

Setelah meraih kejayaan cemerlang dalam peperiksaan penilaian darjah lima , saya telah ditawarkan untuk melanjutkan pelajaran ke peringkat menengah, di sebuah sekolah berasrama penuh. Saya telah menolak tawaran tersebut..

"Kenapa Mirah tolak tawaran itu?"

"Bukankah di sekolah berasrama penuh itu Mirah boleh belajar dengan sempurna?"

"Betul tu, Mirah. Di sana nanti Mirah tak akan berdepan dengan gangguan daripada abang-abang dan kakak-kakak! "

"Mirah tak menyesal ke, kemudian hari nanti?"

Bertubi-tubi mak dan ayah menyoal. Mata mereka tidak berkelip-kelip memandang saya.

"Mak, ayah." Saya menatap wajah kedua-dua insan itu silih berganti.
"Mirah ingin terus tinggal di rumah ini. Mirah ingin terus berdamping dengan mak, ayah, abang-abang dan kakak-kakak. "

"Tapi, boleh ke Mirah buat ulang kaji di rumah? Pelajaran di sekolah menengah itu, bukannya senang." Mak masih meragui keupayaan saya.

"Insya-Allah, mak. Mirah rasa, Mirah dapat mengekalkan prestasi Mirah semasa di sekolah menengah nanti," balas saya penuh yakin.

Mak dan ayah kehabisan kata-kata. Mulut mereka terlopong. Mata mereka terus memanah muka saya. Garis-garis kesangsian masih terpamer pada wajah mereka. Sikap mak dan ayah itu telah menguatkan azam saya untuk terus menjadi pelajar cemerlang, di samping menjadi anak dan adik yang baik.

Selama di sekolah menengah, mak sedapat mungkin cuba membebaskan saya daripada kerjakerja memasak dan mengemas rumah, serta tugas menjaga makan pakai abang-abang dan kakak-kakak kerana takut pelajaran saya terganggu. Sebaliknya saya lebih kerap menawarkan diri untuk membantu, lantaran didorong oleh rasa tanggungjawab dan timbang rasa.

Gadis yang bernama Nurul Humairah itu terus bercerita dengan penuh semangat, apabila melihatkan hadirin di dalam dewan itu mendengar ceritanya dengan penuh minat.

"Saya terpaksa juga meninggalkan rumah sewaktu saya melanjutkan pelajaran di Universiti Kebangsaan Malaysia . Di sana saya membuat pengkhususan dalam bidang pendidikan khas. Bidang ini sengaja saya pilih kerana saya ingin menabur bakti kepada segelintir pelajar yang kurang bernasib baik. Di samping itu, pengetahuan yang telah saya peroleh itu, dapat saya manfaatkan bersama untuk abang-abang dan kakak-kakak. "

"Kini, telah setahun lebih saya mengharung suka duka, sebagai seorang guru pendidikan khas di kampung saya sendiri. Saya harus akui,segulung ijazah yang telah saya miliki tidak seberapa nilainya, berbanding dengan mutiara-mutiara pengalaman yang telah mak kutip sepanjang hayatnya."

"Sekarang, saya lebih ikhlas dan lebih bersedia untuk menjaga abang-abang dan kakak-kakak. Pun begitu, hati ini sering tersentuh apabila beberapa kali saya terdengar perbualan mak dan Ayah."

"Apa akan jadi kepada kelima-lima orang anak kita itu lepas kita tak ada, bang?" suara mak diamuk pilu..

Ayah akan mengeluh, kemudian berkata, "Entahlah. Takkan kita nak harapkan Mirah pula?"

"Mirah bukan anak kandung kita." Mak meningkah. "Kita tak boleh salahkan dia kalau dia abaikan abang-abang dan kakak-kakaknya. "

"Mirah nak tegaskan di sini, mak, yang Mirah akan membela nasib abang-abang dan, kakak-kakak

lepas mak dan ayah tak ada. Ya, memang mereka bukan saudara kandung Mirah. Tapi, tangan yang telah membelai tubuh Mirah dan tubuh mereka adalah tangan yang sama. Tangan yang telah menyuapkan Mirah dan mereka, juga tangan yang sama. Tangan yang memandikan Mirah dan mereka, adalah tangan yang sama, tangan mak."

Kelihatan gadis yang berkebarung ungu, berbunga merah jambu itu, tunduk sambil mengesat air matanya dengan sapu tangannya. Kebanyakan hadirin, khususnya wanita turut mengesat air mata mereka.

Gadis itu menyambung bicaranya. Tiga bulan lalu, saya terbaca mengenai pencalonan anugerah "Ibu Misali" dalam akhbar. Saya terus mencalonkan mak, di luar pengetahuannya. Saya pasti, kalau mak tahu, dia tidak akan merelakannya. Saya sendiri tidak yakin yang mak akan terpilih untuk menerima anugerah ini, sebab anak- anak mak bukan terdiri daripada orang-orang yang disanjung masyarakat, seperti lazimnya anak- anak "Ibu Misali" yang lain.

"Lorong dan denai kehidupan yang orang-orang seperti mak lalui mempunyai banyak duri dan, ranjau berbanding dengan ibu-ibu lain. Betapa keimanan mak tidak tergugat biarpun berdepan dengan dugaan yang sebegini hebat. Tiada rasa kesal. Tiada rasa putus asa. Tidak ada salah-menyalahkan antara mak dan ayah."

"Maafkan Mirah sekali lagi, mak. Hingga ke saat- saat terakhir tadi, mak masih tidak menyenangi tindakan Mirah mencalonkan mak, untuk menerima anugerah ini. Mak merasakan diri mak terlalu kerdil lebih-lebih lagi setelah mak mendengar pengisahan "Ibu Misali" pertama, kedua dan ketiga. Berkali-kali mak tegaskan yang mak menjaga anak-anak mak bukan kerana mahukan anugerah ini, tapi kerana anak-anak adalah amanah Tuhan."

"Saya ingin jelaskan di sini bahawa saya mencalonkan mak untuk anugerah ini, bukan dengan tujuan merayu simpati. Saya cuma berharap kegigihan dan ketabahan mak akan dapat direnung oleh ibu-ibu lain, terutama ibu-ibu muda yang senang-senang mendera dan mencampakkan anak mereka yang cornel, segar-bugar serta sempurna fizikal dan, mental."

"Sebagai pengakhir bicara, sekali lagi saya ingin merakam penghargaan saya kepada pihak penganjur, kerana telah mempertimbangkan mak saya sebagai salah seorang penerima anugerah "Ibu Misali" tahun ini. Semoga pemilihan mak ini akan memberi semangat baru kepada ibu-ibu lain yang senasib dengan mak."

"Sekian, wassalamualaikum warahmatullah. "

Gadis itu beredar meninggalkan pembesar suara.

Penku telah lama terbaring. Buku notaku telah lunyai dek air mataku sendiri. Bahuku dienjut-enjut oleh sedu- sedanku. Pandanganku menjadi kabur. Dalam pandangan yang kabur-kabur itu, mataku silau oleh pancaran cahaya kamera rakan semejaku. Aku segera mengangkat kameraku dan menangkap gambar secara rambang tanpa mengetahui sudut mana atau, apa sebenarnya yang telah menarik perhatian wartawan-wartawan lain.

'Bertenang. Kau di sini sebagai pemberita. Kau seharusnya berusaha mendapat skop yang baik, bukan dihanyutkan oleh perasaan kau sendiri.' Terdengar pesanan satu suara dari dalam diriku.

Lantas, aku mengesat air mataku. Aku menyelak buku notaku mencari helaian yang masih belum disentuh oleh air mataku. Aku capai penku semula.

"Demikianlah kisah pelayaran seorang ibu di samudera kehidupan yang tidak sunyi dari ombak dan badai. Sekarang, dijemput Yang Berbahagia Puan Sri Salwa Najwa dengan diiringi oleh Pengerusi Jawatankuasa Pemilihan "Ibu Mithali" untuk menyampaikan anugerah "Ibu Mithali" serta beberapa hadiah iringan kepada Puan Afifah Rashid. Yang Berbahagia Puan Sri dipersilakan. "

Nurul Humairah membantu maknya bangun. Kemudian, dia memimpin maknya melangkah ke arah Yang Berbahagia Puan Sri Salwa Najwa. Lutut maknya menggeletar. Namun begitu kerana dia tidak berdaya menahan perasaannya dia terduduk kembali di atas kerusi.

Melihatkan itu, Yang Berbahagia Puan Sri Salwa Najwa sendiri datang mendapatkan Puan Afifah, lalu mengalungkan pingat itu. Setelah itu, beliau menyampaikan beberapa hadiah iringan. Air mata Puan Afifah berladung.

Tepukan gemuruh bergema dari segenap penjuru dewan. Sejurus kemudian, seorang demi seorang penerima anugerah "Ibu Mithali" sebelumnya, naik ke pentas bersalaman dan berpelukan dengan Puan Afifah. Bertambah lebatlah hujan air mata penerima anugerah "Ibu Mithali" yang terakhir itu.

Marilah menuntut ilmu dan beramal...


Syurga dibawah telapak kaki ibu

Fatimah Ibu Mithali


"FATIMAH binti Asad ialah ibu kepada Ali bin Abu Talib. Abu Talib adalah bapa saudara Nabi Muhammad. Selepas Aminah meninggal dunia, Abu Talib mengambil tanggungjawab menjaga Nabi Muhammad.

Semasa Nabi Muhammad tinggal dengan Abu Talib, Fatimah menjaga anak saudaranya dengan baik.

Segala makan minum, tempat tinggal dan pakaian Nabi Muhammad disediakan oleh pasangan suami isteri itu mengikut kemampuan mereka.

Nabi Muhammad merupakan seorang yang baik, jujur, amanah dan menghormati orang yang lebih tua daripadanya.

Fatimah adalah antara wanita yang awal memeluk agama Islam. Semasa Nabi Muhammad dilantik menjadi nabi, Fatimah memberi sokongan padu kepada Nabi Muhammad bagi menegakkan agama Islam.

Anak-anak Fatimah juga turut mengikuti jejak langkah ibunya dengan memeluk agama Islam. Antara anak Fatimah yang memeluk Islam ialah Uqail, Jaafar, Ali, Ummu Hani dan Talib.

Nabi Muhammad sangat menghormati Fatimah seperti ibunya sendiri.

Semasa Fatimah tinggal di Madinah, Nabi Muhammad sering berkunjung ke rumah Fatimah dan berehat serta tidur pada siang hari di rumah itu.

Begitu juga keadaan berlaku semasa Fatimah tinggal di Mekah. Nabi Muhammad sering ke rumah Fatimah untuk berjumpa dengan ibu saudaranya itu.

Ada seorang lelaki tua bercerita kepada jirannya tentang Fatimah binti Asad. Lelaki tua itu berkata: “Nampaknya keluarga Fatimah sangat rapat dengan Muhammad. Fatimah menjaga Muhammad dengan baik sekali”.

Lalu jiran itu berkata pula: “Bukankah Fatimah itu isteri kepada Abu Talib? Abu Talib adalah bapa saudara Muhammad”.

“Ya,” jawab lelaki tua itu.

Jiran itu menambah lagi: “Sekarang ini Muhammad sudah berkahwin dengan Siti Khadijah. Saya dapat tahu bahawa Ali, anak Fatimah tinggal bersama Muhammad”.

“Ya. Saya juga dengar berita itu,” kata lelaki tua itu pula.

Lelaki tua itu tersenyum mendengar cerita jirannya itu. Lelaki tua itu berkata lagi: “Sejak kecil Fatimah mendidik dan menjaga Muhammad. Sudah tentu Fatimah mengetahui sifat-sifat yang ada pada Muhammad.

“Saya sendiri melihat Muhammad itu baik orangnya. Dia seorang yang amanah, jujur dan baik budi pekerti. Muhammad tidak pernah memungkiri janji”.

“Patutlah Fatimah sanggup membiarkan Ali tinggal bersama Muhammad. Sekiranya saya ada anak, sudah tentu saya juga ingin melihat anak saya tinggal bersama Muhammad. Pasti Muhammad dapat mendidik anak saya menjadi orang baik,” kata jiran itu panjang lebar.

Rata-rata orang yang mengenali Fatimah binti Asad akan memuji sifat keibuannya. Dia pandai mendidik anak sehingga anak-anaknya menjadi anak yang baik.

Sejarah Islam mencatatkan bahawa anak Fatimah iaitu Ali bin Abi Talib telah dilantik menjadi Khalifah yang ketiga selepas Khalifah Umar al-Khattab menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Fatimah juga menyumbang usahanya kepada Islam. Dia adalah seorang wanita yang suka menghafal dan melaporkan hadis dari Nabi Muhammad. Sepanjang hayat, dia telah melaporkan sebanyak 46 buah hadis.

Ali bin Abi Talib iaitu anak Fatimah telah berkahwin dengan anak Nabi Muhammad iaitu Fatimah az-Zahra. Semasa Fatimah az-Zahra menjadi menantunya, Fatimah menjaga menantunya dengan baik.

Ada satu peristiwa yang berlaku semasa Fatimah di rumahnya. Ali meminta ibunya membantu isterinya di rumah.

Ali berkata kepada ibunya: “Wahai ibu, bolehkah ibu membantu isteri saya mengambil air dan membuat pekerjaan yang lain. Isteri saya akan membantu ibu membuat roti untuk kita makan pada hari ini”.

“Boleh. Ibu sedia buat apa sahaja untuk anak dan menantu ibu yang disayangi itu,” kata Fatimah kepada anak lelakinya.

Semasa Fatimah menghembuskan nafasnya yang terakhir, Nabi Muhammad datang menziarahi jenazah Fatimah.

Nabi Muhammad berdoa kepada Allah, “Semoga Allah menyayangi diri Fatimah. Dia merupakan ibu bagi diri saya. Walaupun dia lapar, dia tetap memberi saya makan sehingga kenyang.

“Apabila pakaian saya koyak dan kotor dia akan beri pakaian yang baik kepada saya. Dia akan menghidangkan saya makanan yang enak dan lazat. Semoga Allah membalas jasa dan kebaikan Fatimah di akhirat kelak”.

Kisah srikandi Fatimah merupakan kisah teladan yang boleh dijadikan contoh. Ibu mithali sangat dihormati dan disayangi oleh anak-anak.
www.hannan.com.my